Kota Dumai

Posted by DUMAI | 9:55 PM | 0 comments »

SELAMA ini, Dumai mungkin lebih dikenal sebagai kota kecil gemerlap karena kehadiran kilang-kilang minyak. Ternyata, tak hanya pengolahan minyak ada di sana. Di tepian Selat Rupat ini masih dapat ditemui binatang-binatang liar, antara lain harimau dan gajah.

MESKI telah berganti status administrasi menjadi
kota, kegiatan non urban (perkotaan) masih sangat terasa. Areal terbangun hanya terkutub di pusat kota, jauh lebih sempit bila dibandingkan dengan ruang terbuka hijau yang menghampar dari bagian barat hingga timur. Salah satu komponen lahan terbuka tersebut, hutan yang mendominasi bagian utara, sebagian dimanfaatkan sebagai hutan lindung gambut serta konservasi harimau Sumatera yang diperkirakan tinggal 40 ekor.

Sayangnya, keberadaan hewan liar kini dalam keadaan bahaya. Usaha konversi rimba yang dilakukan oleh manusia menjadi ancaman. Salah satu tujuan pembabatan hutan ini adalah pengadaan lahan pertanian. Sampai 2002, kota yang tingkat kelerengan tanahnya 0-3 persen ini memiliki sekitar 10.000 hektar lahan yang ditumbuhi tanaman pangan dan hortikultura, tersebar di lima kecamatan, terutama Kecamatan Sungai Sembilan.


Penyempitan hutan juga diperparah oleh usaha perkebunan. Hingga tahun ini terdapat 207 hektar area perkebunan yang diusahakan secara swadaya oleh penduduk setempat dengan ditanami kelapa sawit, kelapa, karet, pinang, dan kopi.


Mayoritas atau sekitar 82,9 persen luas lahan ditanami kelapa sawit yang diyakini punya nilai ekonomis tinggi. Selama tahun 2002, 46.000 ton kelapa sawit dipanen dan kemudian dikirim ke Kabupaten Rokan Hilir untuk diolah di pengolahan kelapa sawit (PKS). Walaupun telah ada pabrik penghasil minyak sawit mentah atau crude palm oil, kota yang iklimnya dipengaruhi oleh laut ini tak mempunyai PKS. Oleh sebab itu, petani sawit terpaksa mengirim hasl panen sawit ke daerah tetangga, Kabupaten Rokan Hilir, untuk diolah.


Dengan tingkat produksi sawit sebesar itu semestinya diperlukan kehadiran dua pengolahan kelapa sawit berkapasitas sekitar 8.000 ton per hari. Nantinya, petani tak perlu lagi keluar kota, dan kemudian dikirim kembali ke Dumai untuk diolah di tiga pabrik pengolahan inti sawit. PT Bukit Kapur Raya, pabrik berkapasitas produksi terbesar dan memperkerjakan 175 pegawai, mampu menghasilkan tak kurang dari 2 juta ton minyak sawit mentah per tahun yang dikirim ke Eropa, Amerika Selatan, dan juga berbagai negara di Asia.


Belum cukup dengan tiga pabrik besar penghasil CPO, pemerintah kota masih mengharapkan para pemodal menanamkan investasinya di kota yang memiliki jenis tanah rawa bergambut, terutama di bidang agroindustri. Harapan ini tak berlebihan mengingat industri diimpikan menjadi bagian dari tulang punggung perekonomian serta dukungan pasokan bahan baku dari daerah sekitar yang berfungsi wilayah belakang.


Untuk merealisasikan harapan ini, pemerintah kota menyediakan setidaknya tiga kawasan industri di Lubuk Gaung, Kecamatan Sungai Sembilan, 1.450 hektar, di Pelintung, Kecamatan Medang Kampai, 500 hektar, dan di Bagan Besar, Kecamatan Bukit Kapur, 500 hektar. Hanya saja, pembenahan infrastruktur seperti jalan harus dilakukan. Contoh nyata, kondisi jalan ke Pelintung buruk dan sukar dilewati saat hujan turun. Di samping itu, konflik antara manusia dan binatang liar yang sering terjadi di lokasi kawasan industri harus segera dicari jalan keluarnya.


Penarik utama investor sebenarnya adalah pelabuhan yang berakses langsung ke jalur Selat Malaka, serta terlindung oleh Pulau Rupat milik Kabupaten Bengkalis. Tak hanya menjadi senjata utama, pelabuhan bahkan telah menjadi jantung perekonomian.

Partisipasi aktivitas ini terhadap nilai perekonomian total, 24,11 persen di tahun 2001. Nilai yang cukup tinggi dibandingkan lapangan usaha lainnya.

Lebih dari itu, tempat labuh merupakan bagian sejarah terpenting dari daerah yang memiliki 16 sungai ini, yang dimulai saat PT Caltex Pacifix Indonesia (CPI) memindahkan pelabuhannya ke kota ini. Jalan tembus dari daerah penghasil minyak di Kabupaten Bengkalis, Duri, ke pantai yang berjarak 93 mil dari Malaysia ini segera dibangun. Pipa-pipa raksasa untuk mengalirkan minyak mentah menggelondong sepanjang 900 kilometer di tepi jalan raya. Tahun 1959, pelabuhan minyak selesai didirikan dan mulai digunakan. Melihat perkembangan positif yang terjadi, Pertamina UP II pun memanfaatkan wilayah sekitar pelabuhan sebagai lokasi pengilangan minyak, Kilang Minyak Putri Tujuh.


Dampak langsung keberadaan pelabuhan ini adalah meningkatnya sektor tersier perdagangan dan jasa. Dengan memanfaatkan pelabuhan, tempat keluar masuk manusia serta bongkar muat barang, rezeki pun diraup. Apalagi komoditas perdagangan yang ada lumayan beragam, mulai dari sembako hingga pengiriman minyak mentah.


Sepanjang tahun 2002, penjualan minyak mentah yang dibukukan oleh dua perusahaan besar minyak di salah satu gerbang Sumatera bagian timur ini nilainya 2 miliar dollar AS. Jumlah itu adalah nilai dari hampir 103 juta barrel minyak jenis low sulphur waxy residue, sumatera light crude, duri crude oil, dan green coke. Jutaan barrel minyak ini dikirim ke berbagai negara antara lain Amerika Serikat, Australia, Cina, Korea Selatan, Filipina, Malaysia, dan Singapura.


Selain minyak, ekspor non migas yang didominasi oleh komoditas CPO juga terlaksana lancar di pelabuhan ini. Di tahun 2002, kira-kira 689.000 ton CPO senilai 240 juta dollar AS dikapalkan dari pelabuhan ini dengan tujuan utama ke negara seberang, Malaysia. Hasil alam yang diolah maupun masih alami seperti ikan segar, udang, dan ikan asin, juga kayu gergajian dan olahan dijual ke luar negeri.


Derap usaha perdagangan ini berhasil menjadi salah satu pilar utama perekonomian kota yang terbentuk pada tanggal 20 April 1999. Kegiatan tersier ini mampu menghasilkan produk domestik regional bruto Rp 212 miliar atau sekitar 27,11 persen dari total. Partisipasi ini adalah paling besar dibanding kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya. Termasuk memberikan pekerjaan kepada 26 persen penduduknya.


Hasil dari berbagai aktivitas perkotaan yang terjadi setiap hari, sektor properti tumbuh cukup subur di pusat kota. Hotel-hotel dan restoran berderet siap menjamu para tamu yang berkunjung karena berbagai urusan bisnis maupun hanya hendak menyeberang ke Malaysia. Pajak dari hotel dan restoran inilah yang ternyata telah menjadi penyumbang terbesar pendapatan asli daerah.

0 comments